Senin, 19 Maret 2012

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN GOOGLE CHROME

Seperti yang kita ketahui Google yang terkenal dengan Search Enginenya sudah memiliki sebuah aplikasi browser yang dinamakan CHROME, (sekarang sudah merilis vers 3 beta). Saat ini didunia sangat banyak tersedia aplikasi2 browser. seperti Firefox, Opera, IE, Safari, nestcape, dll.
Pada postingan ini saya akan membahas kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh Chrome buatan Google. Browser ini bisa dibilang heboh, karena yang mempunyai browser ini adalah si raja poke engine yaitu Google.
KELEMAHAN BROWSER CHROME :
  • PRIVASI : Google menyimpan 2% interpretation pencarian pengguna, lengkap dengan alamat IP-a. Walaupun dalam beberapa waktu tertentu interpretation ini akan dianonimkan. Ini artinya google bisa saja tahu “siapa mencari apa dan dimana”
  • LISENSI : Google sempat mencantumkan pada Terms of Service mereka, bahwa semua muatan dari pengguna yang hak ciptanya dimiliki oleh pengguna akan diserahkan haknya pada Google. Tapi indicate ini telah dicabut oleh pihak Google.
  • CELAH KEAMANAN : Beberapa pakar confidence menemukan adanya lubang kecil/bugs pada chrome. Sehingga ketika membuka suatu halaman website akan membuat browser ini menjadi crash. Lalu Chrome juga memiliki underline Download Otomatis yang dikhawatirkan akan disalah gunakan oleh Hacker
  • EXTENSIONS : Pada Chrome tidak terdapat extension/plugin/addons yang dapat ditambahkan. Tidak seperti Firefox yang memiliki banyak aplikasi2 tambahan yang dapat membuat dan meningkatkan kinerja browser.
  • BAHASA : Pada chrome ketika kita memilih untuk menggunakan dalam bahasa Indonesia maka akan terdapat beberapa kejanggalan dalam bahasanya.
KELEBIHAN BROWSER CHROME :
  • TAMPILAN : Pada Interface dari Chrome terlihat bahawa google ingin para penggunanya lebih fokus pada web dan melupakan browser yang digunakan. Ini atinya Google Chrome memilii tampilan yang tidak mengusik dan nyaman ketika sedang digunakan
  • MODUS PENYAMARAN : Pada modus ini memungkinkan para penggunanya dapat mengakses website tanpa meninggalkan jejak. Sehingga cocok digunakan untuk mengkases konten yang berbau porno secara diam-diam he he he
  • APLIKASI WEB : Google memberikan opsi “Make Application Shortcut” . Dengan underline ini sebuah aplikasi web seperti GMAIL atau Google Teader dapat dijalankan lewat shrtcut pada Desktop atau Start Menu. Sehingga kelihatan seperti sebuah aplikasi lokal
  • PENGELOLAAN MEMORY :  Pada setiap TAB yang dibuka di Chrome memiliki proses yang terpisah, sehingga ketika eror/crash pada salah satu ta tidak akan meyebabkan seluruh browser eror. (ini kekurangan yang terdapat pada FireFox dan browser lainnya)
PENCARIAN : Chrome memiliki fungsi pencarian yang sangat baik. Contohnya, chrome daat mendeteksi ketika pengguna pernah melakukan pencarian di suatu website dan memasukkan website tersebut dalam daftar penyedia pencarian.

Sabtu, 18 Februari 2012

PROFIL & SEJARAH SINGKAT NURCHOLIS MAJID



Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Namanya sempat mencuat sebagai kandidat terkuat calon presiden Pemilu 2004.

Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.

Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.

Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.

Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.

Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu.

Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. 

Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.

Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.
 Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.

Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.





Ide pembaharuan Islam

Cak Nur merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.

Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Reformasi 1998

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Ialah yang sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran beliau, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.

Kontroversi

Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur menyatakan "Islam Yes, Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.


Meninggal

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.

Pendidikan


·         Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
·         Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
·         Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
·         Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
·         The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, Amerika Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang diminati Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang

Pekerjaan


·         Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
·         Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
·         Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
·         Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005

Karir (lain-lain)

·         Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
·         Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
·         Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
·         Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
·         Anggota KOMNAS HAM , 1993-2005
·         Profesor Tamu, McGill University , Montreal, Kanada, 1991–1992
·         Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
·         Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
·         Penerima Cultural Award ICM, 1995
·         Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
·         Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998

Penerbitan (Sebagian)

·         The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
·         (“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
·         “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
·         “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
·         Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
·         Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
·         Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
·         Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
·         Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
·         Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
·         Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
·         Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
·         “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
·         IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
·         “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
·         Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
·         Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
·         Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina, --)


Kegiatan


·         Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia
·         Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria
·         Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
·         Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
·         Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
·         Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
·         Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
·         Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
·         Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
·         Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
·         Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
·         Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
·         Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
·         Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
·         Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
·         Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
·         Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
·         Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
·         Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
·         Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
·         Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
·         Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
·         Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
·         Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania
























RESUME
Beliau pun mengutip bahwa kita seharusnya selalu melihat sejarah negara kita yang telah lalu jika ingin Mengutip dari salah satu buku Nurcholis Majid yang berjudul “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” dan “Atas Nama Pengalaman” menjadi negara yang berkompeten.
Hal ini dapat kita lihat dalam tulisannya yang bercerita, setelah 40 tahun menjadi bangsa yang merdeka patutlah rasanya kita menengok ke belakang dengan penuh apresiasi. Harus diakui bahwa tekanan kepada apresiasi itu mencerminkan suatu sikap pandang yang optimis.
Jika masa 40 tahun terakhir itu kita bagi menjadi dua bagian yang kurang lebih sama masanya, yaitu “Orde Lama” dan “Orde Baru”, kiranya dibenarkan untuk menyatakan bahwa masing – masing masa itu dengan pola dan caranya sendiri telah memberi sumbangan besar kepada usaha penumbuhan dan pengembangan bangsa Indonesia.
“Orde Lama” dalam pandangan apresiatif harus dilihat sebagai yang bertanggung jawab atas pertumbuhan modern bangsa Indonesia, itu sendiri yang kini terwujud dalam bentuk negara nasional yang meliputi wilayah Sabang – Merauke dengan konstitusi dan falsafah yang secara formal telah mapan dan mantap.
“Orde Baru” betapapun berbeda dengan “Orde Lama” harus dipandang sebagai kelanjutan langsung masa sebelumnya itu. Ia lahir berkat pengalaman periode yang mendahuluinya dan ia menjadi wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu. Dan wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu ialah peneguhan tekad untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Peneguhan tekad itu tidak terjadi tanpa “ongkos – ongkos” yang kadang – kadang cukup tinggi, seperti tekanan kepada “keamanan” yang sering disertai implikasi peenekanan terhadap “kebebasan”, demikian pula pragmantisme pembangunan ekonomi yang berakibat untuk sementara, tentunya terdesak ke belakang usaha mewujudkan cita – cita keadilan sosial yang justru dinyatakan dalam konstitusi sebagai tujuan kita bernegara. Tetapi pengalaman memiliki stabilitas politik, keamanan nasional dan pembangunan ekonomi pragmantis, selama kurang lebih dasawarsa ini, haruslah dianggap sebagai sesuatu yang amat banyak memperkaya proses pertumbuhan kita sebagai bangsa.
Walaupun demikian, adalah suatu truisme yang sederhana jika kita katakan tentang tidak adanya sesuatu yang sempurna pada “Orde Baru”. Bahkan, para partisipan “Orde Baru” paling apologetis pun tidak pernah terdengar menyatakan kesempurnaan masa dua dasawarsa terakhir kenegaraan kita ini.
Telah ditegaskan bahwa pengalaman “Orde Baru” ini, bagaimanapun, tidak dapat dipandang sebagai hal yang final untuk pertumbuhan bangsa kita dan memang tak seorang pun berpendapat demikian.
Dari sudut pandang itu dan jika harus disebutkan sesuatu yang banyak memberi harapan masa depan kita, maka harus disebutkan adanya kecenderungan umum bangsa kita ke arah suatu konvergensi nasional yakni konvergensi di bidang konsep – konsep dasar sosial, budaya dan politik harus diakui bahwa ungkapan ini pun bernada optimistis, seperti halnya dengan pandangan apresiatif kepada masa lalu bangsa kita.
Terlepas dari nada optimisnya, kita ingin mengajukan beberapa bahan argumen guna menopang pandangan itu. Konvergensi adalah suatu hasil bentuk saling pengertian, mutual understanding, dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima.
Kecenderungan konvergensi nasional itu harus diarahkan kepada penguatan pandangan hidup yang lebih kosmopolit, yaitu suatu tata  pergaulan nasional, dalam arti lahiriah maupun maknawiah, yang berwawasan meliputi seluruh anggota bangsa. Ini mengingatkan bahwa, dalam kenyataannya kebangsaan Indonesia disusun sebagai gabungan berbagai pengelompokan etnis yang sedemikian beragamnya. Jika disebutkan bahwa budaya Indonesia ialah rangkuman puncak berbagai budaya daerah, nilai keindonesiaan itu harus bersemangatkan kosmopolitisme, bukan nativisme. Sebab dalam kelanjutannya wajarnya, nativisme akan hanya berakhir pada daerahisme, jika bukan sukuisme.
Suatu natavisme (pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir) akan merupakan penghalang besar pertumbuhan keindonesiaan. Kebesaran bangsa pada masa lampau pada zaman nenek moyang tentu tetap relevan untuk dikenang dan disadari sebagai sumber inspirasi dan bahan penumbuhan rasa kesinambungan dan kelestarian historis. Tetapi kebesaran bangsa sekarang tidak akan terwujud dengan terlalu banyak menengok ke belakang. Yang diperlukan ialah justru sikap yang lebih berani untuk menghadapi masa depan.
Nilai – nilai keindonesiaan umum yang kosmopolit Indonesia itu dapat secara pasif dibiarkan tumbuh sendiri, yaitu antara lain karena nilai – nilai bisa merupakan hasil bersih interaksi pergaulan berbagai kelompok anggota bangsa Indonesia yang ditopang oleh adanya pemertaan kesempatan.
Akan tetapi, sikap pasif itu dapat dibenarkan jika ada asumsi yang berdasarkan bahwa pertumbuhan wajar keindonesiaan itu tidak akan terkena oleh usaha interupsi yang penuh kesengajaan misalnya, oleh bahaya laten komunisme yang sampai sekarang menjadi doktrin hankam kita. Karena itu, pertumbuhan keindonesiaan itu lebih baik ditangani secara aktif dan tidak diserahkan hanya semata – mata kepada perkembangan alaminya yang serba aksidental.
Hal tersebut dalam praktik akan memeerlukan dorongan ke arah terjadinya proses pendewasaan diri setiap anggota bangsa, baik perseorangan maupun kelompok yang kedewasaan itu menyatakan diri dalam kemampuan yang senantiasa meningkat untuk mengenali nilai – nilai universal diri dan kelompoknya guna dikomunikasikan dengan orang dan kelompok lain. Jika suatu “kebenaran” yang diklaim oleh pribadi atau kelompok itu memang benar dan tidak semata – mata hasil ilusi psikologis/sosial yang kaitannya dengan manfaat umum hanya semu atau palsu bagaikan buih dan jika kemanfaatan “kebenaran” itu untuk sesama manusia memang beralasan dan terbukti setidaknya secara logis “kebenaran” itu pada peringkat nasional, harus bisa dinyatakan dalam bahasa – bahasa inklusivitis yang memungkinkan partisipasi dan sharing oleh orang atau kelompok lain.
Legitimasi kekuasaan dapat dapat diperoleh dari berbagai sumber, sejak dari keberhasilan mewujudkan stabilitas dalam suatu masyarakat yang baru mengalami situasi kacau sampai kepada kemampuan mengejawantahkan nilai – nilai luhur yang menjadi tujuan bersama bangsa. Nilai – nilai luhur bangsa kita dirumuskan dalam konstitusi yakni Pancasila. Dan sumber legitimasi inilah kriteria terakhir keabsahan suatu kekuasaan di negeri kita.
Legitimasi itu semakin diperlukan sebagai sumber daya dorong bangsa kita yang sering  dilukiskan sebagai hendak “tinggal landas”, tenaga dorong yang diperlukan untuk tinggal landas adalah jauh lebih besar belipat ganda daripada yang diperlukan ketika melakukan taxiing menuju runaway dan masih lebih besar berlipat ganda dari tenaga dorong yang diperlukan untuk cruising kelak di angkasa. Maka jika untuk tinggal landas itu tidak tersedia cukup sumber tenaga, pesawat mungkin akan menukik dan jatuh berantakan. Hal yang paling tepat untuk dikiaskan dengan daya dorong  guna take off itu ialah legitimasi politik. Semakin meyakinkan legitimasi itu, semakin besar daya dorong yang dihasilkannya, yaitu dalam wujud kesediaan setiap anggota bangsa, perseorangan maupun kelompok untuk berkorban.
Lebih lanjut, saat take off  sebagaimana saat landing adalah saat – saat paling kritis dalam penerbangan saat seluruh penumpang termasuk awak pesawat dituntut untuk menahan diri dan prihatin. Para awak pesawat, disebabkan oleh tanggung jawab mereka harus memberi contoh. Jika tidak, kelalaian mereka akan menjadi alasan untuk para penumpang meniru – niru dan ini akan bisa mengancam keselamatan seluruh isi pesawat.
Untuk mempertinggi kemampuan kita memikul tanggung jawab itu, kita harus secara kreatif menumbuhkan sikap mantap kepada diri sendiri sebagai bangsa. Pertumbuhan kemantapan itu berjalan sejajar dengan pertumbuhan keindonesiaan itu sendiri. Tetapi kemantapan itu juga bisa ditumbuhkan secara deliberate, antara lain dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa kelima terbesar di dunia. Kemantapan itu tidak saja berimplikasi kebebasan dari rasa cemas yang tidak pada tempatnya, baik cemas yang berlebihan terhadap pluralitas dalam negeri maupun cemas dalam bentuk xenophobia, suatu perasaan takut kepada yang asing pengaruh asing.
Kembali kepada kemampuan mewujudkan nilai – nilai luhur atau keberhasilan menunjuk komitmen kepadanya sebagai sumber legitimasi politik tersebut, kemantapan dan keterbukaan itu menghendaki adanya persepsi kepada Pancasila sebagai ideologi terbuka. Ideologi negara Pancasila, sebagai bentuk konvergensi nasional dalam peringkat formal konstitusional, telah menunjuk keefektifannya sebagai penopang Republik. Tapi keefektifannya itu agaknya terbatas kepada kemampuannya untuk menjadi sumber legitimasi bagi usaha – usaha mempertahankan status quo.
Sebagai objek manipulasi, Pancasila bisa berfungsi tidak lebih daripada suatu alat politik, suatu ideological weapon untuk kepentingan sesaat. Sedangkan amat kita perlukan sekarang ialah Pancasila yang berfungsi penuh sebagai sumber untuk memacu masa depan. Karena acap kali kita beringsut ke belakang dengan segala sikap apologetisnya, saat kita hendak membicarakan perwujudan nyata dalam masyarakat untuk sila – sila Perikemanusiaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Tentu saja kita tidak bisa membiarkan diri terus menerus bersikap “tiba di mata dipejamkan, tiba di perut dikempiskan” terhadap nilai – nilai Pancasila itu.

Kemudian dalam buku “Atas Nama Pengalaman” saya mengutip di salah satu judulnya ‘Dua Pengalaman Berharga : Orde Lama dan Orde Baru’. Dalam buku ini belia menceritakan mengapa Indonesia tetap menemui kegagalan setelah runtuhnya Orde Baru dan berubah ke Orde Reformasi, beliau memiliki visi, gagasan dan pemikiran bagaimana  sebenarnya yang kita butuhkan untuk mengisi suasana reformasi, supaya kita tidak gagal.
Ketika Orde Baru lahir, pikiran – pikiran yang kira – kira sejalan dengan aspirasi reformasi sekarang ini sebetulnya sudah ada. Pikiran – pikiran yang tertuang dalam Seminar Angkatan Darat II tahun 66 yang dipelopori oleh para intelektual di Seskoad, ketika itu memang merupakan semacam “think-tank” yang sangat produktif dan banyak sekali merekrut tenaga – tenaga yang sangat berkualitas. Sayangnya konsep yang dimaksudkan sebagai semacam reformasi terhadap sistemnya Bung Karno yang tidak adil waktu itu berhadapan dengan partai – partai. Banyak sekali partai – partai waktu itu. Dan tidak jelas pula siapa lawan siapa kawan.
Pak Harto misalnya waktu itu beliau hanya bisa mengandalkan Resimen Para Komando Angkatan Darat dalam Kostrad, kemudian dieksistensi ke Siliwangi dan Yogya. Tetapi semua Kodam waktu itu mencurigakan; semua angkatan dan semua partai politik mencurigakan. Sehingga pada saat itu terindikasi bahwa Pak Harto ingin mendapat dukungan dari Masyumi karena Masyumi pada saat itu adalah pratai politik yang dijamain anti PKI tetapi beliau menemui kegagalan karena beliau kurang produktif dalam pendekatan – pendekatan kepribadian. Sehingga beliau  mengambil konsep yang di godok oleh Ali Murtopo cs, itulah yang menghasilkan suatu sistem yang berjalan sepanjang Orde Baru yang kemudian kita rasakan selama lebih dari 30 tahun.
Sistem yang berjalan selama lebih dari 30 tahun di masa Orde Baru dengan tokohnya Pak Harto sangat mengesankan dan impresif. Bandingkan dengan zaman Bung Karno yang 20 tahun tetapi penuh dengan gejolak. Kemudian dalam perkembangan berikutnaya, Pak Harto kurang melihat kemana sistemnya itu berjalan. Sistem yang tercipta dan menggelinding bersama Orde Baru itu menjadi permanen seolah – olah merupakan situasi  final dari keadaan Indonesia. Dan akibatnya, ketika zaman bergulir dan situasi berubah, sistem tersebut tidak mampu mengakomodasi perkembangan dan tuntutan – tuntutan aktual, sehingga dia menjadi out of date dan mengalami krisis yang cukup gawat.
Dulu Bung Karno berhadapan dengan persoalan kultural. Indonesia waktu itu adalah suatu proyek yang belum ada presidennya. Sebelum tahun 1945, belum ada Indonesia yang ada ialah Hindia Belanda dan struktur kolonial. Memang secara geografis struktural Indonesia ini kita warisi dari Hindia Belanda tetapi sistemnya lain sama sekali. Karena itu dulu, sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno bisa polemik dengan bebas sekali, dia bisa menulis dan bertukar pikiran dengans siapa saja secara bebas dan sangat aktif. Tetapi itu semau hanya masih sebatas membaca teks buku, dengan kata lain semua itu merupakan “adu kutipan buku” sehingga begituu diahadapkan dengan kenyataan kultural yang luar biasa sulitnya membuat beliau gagal.
Kegagalan Bung Karno itu lebih disebabkan karena kebingungannya karena dari Surabaya dengan budaya pantai yang egaliter, terbuka, kosmopolit dan mobile­ karena dasar ekonominya adalah dagang, Bung Karno kemudian menyerap keislaman dari Tjokroaminoto, setelah itu dia juga menyerap budaya – budaya Barat melalui sekolah Eropa. Maka kepribadian Bung Karno itu tumbuh dari pengalaman yang sangat kompleks. Dalam beberapa hal dia sangat Barat misalnya dalam soal pakaian atau cita rasa seninya. Kalau kita lihat koleksi lukisan dan patung di istana itu semuanya Barat.
Setelah itu Bung Karno pindah ke THS di Bandung, mulailah beliau terlibat dalam proses – proses perjuangan kemerdekaan. Disitulah dia mulai berpolemik. Sesuai dengan zaman dan modenya waktu itu maka dalam berpolemik dia banyak menggunakan literatur Marxisme. Inilah klimaks periode Bung Karno, sehingga ketika beliau tampil sebagai presiden, beliau tidak tahu bagaimana menampilkan dirinya. Kadang beliau tampil sebagai orang Jawa pedalaman, kadang beliau tampil sebagai muslim, tapi kadang – kadang beliau juga tampil sebagai orang Barat dan tentu saja dia banyak tampil sebagai seorang revolusioner. Bagi Bung Karno  yang penting merdeka dulu, urusan lain diatur belakangan.
Dengan modal kenekadan itulah Bung Karno memimpin Indonesia merdeka. Beliau mencanangkan revolusi belum selesai. Menjebol dan membangun, sayangnya waktu itu baru bisa menjebol belum sempat membangun. Bung Karno waktu itu tidak tahu bagaimana menghandle Indonesia. Beliau mencoba menyatukan berbagai unsur yang beliau dapat dari ide – ide nasionalisme, agama, dan marxisme kemudian diringkasnya menjadi Nasakom. Tetapi eksperimennya itu hanya bertahan selama 20 tahun. Kemudian datang Pak Harto sebagai sutradara baru.
Pak Harto adalah orang yang tidak pernah sekolah, hal itu bisa dilihat dari bahasnaya yang uneducated language. Tetapi Iqnya tinggi sekali. Beliau sangat mudah untuk mengerti. Karena beliau tidak sekolah, maka beliau tidak punya wawasan tentang apa modern nation-state. Wawasannya adalah feodal state. Dari situlah mulai muncul problem. Dia seolah – olah  tidak mau mengulangi Bung Karno yang memiliki pendidikan tinggi tapi kemudian meleset menilai keadaan. Pak Harto dengan kecerdasannya mencoba memetakan masalah. Tetapi tanpa pendidikan yang memadai dan hanya bermodalkan kecerdasan, beliau seperti laser yang tidak bisa menerangi kanan – kirinya. Tetapi karena diarahkan dengan penuh energi semuanya jadi jebol.
Kemudian beliau mengunakan satu alternatif kebudayaan Indonesia yaitu Jawa yang digabung dengan militer. Ini kita saksikan 30 tahun efektif. Kemiliterannya dan Kejawaannya juga selektif sehingga beliau mendapat pertentangan. Jadi untuk diketahui bahwa budaya  Jawa yang diterapkan Pak Harto itu atas dasar pilihan beliau sendiri. Singkatnya selama Orde Baru itu kita diperintahkan oleh suatu sistem yang sangat bertumpu kepada salah satu saja dari sistem budaya Indonesia, dan kemudian efektif hanya 30 tahun. Oleh karena itu  tidak bisa disebut permanen. Dua pengalaman berharga itu yakni masa Bung Karno dan Pak Harto, harus kita renungkan betul untuk meenjadi bahan pemikiran ke depan agar kita tidak terjatuh lagi.