Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia
cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah
menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia
sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi
bangsa. Namanya sempat mencuat sebagai kandidat terkuat calon presiden Pemilu
2004.
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu
dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan
kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1
itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres.
Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi
surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti
pernah dikemukakannya.
Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga
kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya,
KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan
di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan
IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di
Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang
filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi
masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam
bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah
pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang
lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal
dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid,
adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger”
politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap
bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh
kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu.
Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi
mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang
Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam
Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya
bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler
yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan
sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik
sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa
yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor
Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di
pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme,
humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan
sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai
gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang
dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI.
Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak
orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.
Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak,
terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar
Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu
menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang
Islam.
Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang
Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar.
Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam
tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar.
Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam
menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi
tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks
yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Ide pembaharuan Islam
Cak Nur merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan
Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai
intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di
dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim
Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid
sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama
gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai
sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah
berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang
moderat.
Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa
Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Ialah yang sering
diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca
kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang
merupakan imbas krisis 1997. Atas saran beliau, akhirnya Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.
Kontroversi
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan
pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam
Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis
literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan
Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan
yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur menyatakan "Islam Yes,
Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat
Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang
berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah
terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan
agama.
Meninggal
Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat
penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa
kepada negara.
Pendidikan
·
Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
·
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
·
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA,
Sastra Arab)
·
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968
(Doktorandus, Sastra Arab)
·
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, Amerika
Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang diminati Filsafah dan
Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi
Agama, Politik negara-negara berkembang
Pekerjaan
·
Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta
1978–1984
·
Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta,
1984–2005
·
Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
·
Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005
Karir (lain-lain)
·
Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
·
Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
·
Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
·
Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
·
Anggota KOMNAS HAM , 1993-2005
·
Profesor Tamu, McGill University , Montreal, Kanada, 1991–1992
·
Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI),
1990–1995
·
Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
·
Penerima Cultural Award ICM, 1995
·
Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
·
Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998
Penerbitan (Sebagian)
·
The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point
of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio,
Ohio University, 1978)
·
(“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan
seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern
(Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
·
“Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly,
Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
·
“Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly,
Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
·
Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan
Bintang, 1982)
·
Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
·
Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism),
(Bandung: Mizan, 1987, 1988)
·
Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations),
(Jakarta, Paramadina, 1992)
·
Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism)
(Bandung: Mizan, 1993)
·
Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
·
Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta,
Paramadina, 1995)
·
Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta,
Paramadina, 1995)
·
“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian
Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments
in Indonesian
·
IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
·
“Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia
dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan
terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State
University, 1996)
·
Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
·
Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s
Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
·
Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina)
(Jakarta:Paramadina, --)
Kegiatan
·
Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”,
November 1992, Bellagio, Italia
·
Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian
Dunia”, April 1993, Wina, Austria
·
Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei
1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
·
Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”,
Mei 1993, Teheran, Iran.
·
Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan
tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
·
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”,
Maret 1995, Bellagio, Italia
·
Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia
Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
·
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”,
September 1995, Melbourne, Australia
·
Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia
Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
·
Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni
1996, Tokyo, Jepang
·
Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996,
Kuala Lumpur, Malaysia
·
Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997
Kuala lumpur
·
Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret
1997, Washington, DC, Amerika Serikat
·
Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia”
(Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
·
Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas
Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
·
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas
Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
·
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997,
Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
·
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang
Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
·
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of
Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
·
Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi
Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
·
Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi
Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika),
Washington DC, Amerika Serikat
·
Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999,
Brisbane, Australia
·
Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi
Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
·
Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP),
November 1999, Amman, Yordania
RESUME
Beliau
pun mengutip bahwa kita seharusnya selalu melihat sejarah negara kita yang
telah lalu jika ingin Mengutip dari salah satu buku Nurcholis Majid yang
berjudul “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” dan “Atas Nama Pengalaman” menjadi
negara yang berkompeten.
Hal ini dapat kita lihat
dalam tulisannya yang bercerita, setelah 40 tahun menjadi bangsa yang merdeka
patutlah rasanya kita menengok ke belakang dengan penuh apresiasi. Harus diakui
bahwa tekanan kepada apresiasi itu mencerminkan suatu sikap pandang yang
optimis.
Jika masa 40 tahun
terakhir itu kita bagi menjadi dua bagian yang kurang lebih sama masanya, yaitu
“Orde Lama” dan “Orde Baru”, kiranya dibenarkan untuk menyatakan bahwa masing –
masing masa itu dengan pola dan caranya sendiri telah memberi sumbangan besar
kepada usaha penumbuhan dan pengembangan bangsa Indonesia.
“Orde Lama” dalam
pandangan apresiatif harus dilihat sebagai yang bertanggung jawab atas
pertumbuhan modern bangsa Indonesia, itu sendiri yang kini terwujud dalam
bentuk negara nasional yang meliputi wilayah Sabang – Merauke dengan konstitusi
dan falsafah yang secara formal telah mapan dan mantap.
“Orde Baru” betapapun
berbeda dengan “Orde Lama” harus dipandang sebagai kelanjutan langsung masa
sebelumnya itu. Ia lahir berkat pengalaman periode yang mendahuluinya dan ia
menjadi wujud penarikan manfaat dari pengalaman itu. Dan wujud penarikan
manfaat dari pengalaman itu ialah peneguhan tekad untuk menciptakan stabilitas
politik dan pembangunan ekonomi. Peneguhan tekad itu tidak terjadi tanpa
“ongkos – ongkos” yang kadang – kadang cukup tinggi, seperti tekanan kepada
“keamanan” yang sering disertai implikasi peenekanan terhadap “kebebasan”,
demikian pula pragmantisme pembangunan ekonomi yang berakibat untuk sementara,
tentunya terdesak ke belakang usaha mewujudkan cita – cita keadilan sosial yang
justru dinyatakan dalam konstitusi sebagai tujuan kita bernegara. Tetapi
pengalaman memiliki stabilitas politik, keamanan nasional dan pembangunan
ekonomi pragmantis, selama kurang lebih dasawarsa ini, haruslah dianggap
sebagai sesuatu yang amat banyak memperkaya proses pertumbuhan kita sebagai
bangsa.
Walaupun demikian, adalah
suatu truisme yang sederhana jika kita katakan tentang tidak adanya sesuatu
yang sempurna pada “Orde Baru”. Bahkan, para partisipan “Orde Baru” paling
apologetis pun tidak pernah terdengar menyatakan kesempurnaan masa dua
dasawarsa terakhir kenegaraan kita ini.
Telah ditegaskan bahwa
pengalaman “Orde Baru” ini, bagaimanapun, tidak dapat dipandang sebagai hal
yang final untuk pertumbuhan bangsa kita dan memang tak seorang pun berpendapat
demikian.
Dari sudut pandang itu dan
jika harus disebutkan sesuatu yang banyak memberi harapan masa depan kita, maka
harus disebutkan adanya kecenderungan umum bangsa kita ke arah suatu
konvergensi nasional yakni konvergensi di bidang konsep – konsep dasar sosial,
budaya dan politik harus diakui bahwa ungkapan ini pun bernada optimistis,
seperti halnya dengan pandangan apresiatif kepada masa lalu bangsa kita.
Terlepas dari nada
optimisnya, kita ingin mengajukan beberapa bahan argumen guna menopang
pandangan itu. Konvergensi adalah
suatu hasil bentuk saling pengertian, mutual understanding, dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima.
Kecenderungan konvergensi
nasional itu harus diarahkan kepada penguatan pandangan hidup yang lebih
kosmopolit, yaitu suatu tata pergaulan
nasional, dalam arti lahiriah maupun maknawiah, yang berwawasan meliputi
seluruh anggota bangsa. Ini mengingatkan bahwa, dalam kenyataannya kebangsaan
Indonesia disusun sebagai gabungan berbagai pengelompokan etnis yang sedemikian
beragamnya. Jika disebutkan bahwa budaya Indonesia ialah rangkuman puncak
berbagai budaya daerah, nilai keindonesiaan itu harus bersemangatkan
kosmopolitisme, bukan nativisme. Sebab dalam kelanjutannya wajarnya, nativisme
akan hanya berakhir pada daerahisme, jika bukan sukuisme.
Suatu natavisme (pandangan bahwa keterampilan-keterampilan
atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir) akan merupakan penghalang besar
pertumbuhan keindonesiaan. Kebesaran bangsa pada masa lampau pada zaman nenek
moyang tentu tetap relevan untuk dikenang dan disadari sebagai sumber inspirasi
dan bahan penumbuhan rasa kesinambungan dan kelestarian historis. Tetapi
kebesaran bangsa sekarang tidak akan terwujud dengan terlalu banyak menengok ke
belakang. Yang diperlukan ialah justru sikap yang lebih berani untuk menghadapi
masa depan.
Nilai – nilai
keindonesiaan umum yang kosmopolit Indonesia itu dapat secara pasif dibiarkan
tumbuh sendiri, yaitu antara lain karena nilai – nilai bisa merupakan hasil
bersih interaksi pergaulan berbagai kelompok anggota bangsa Indonesia yang
ditopang oleh adanya pemertaan kesempatan.
Akan tetapi, sikap pasif
itu dapat dibenarkan jika ada asumsi yang berdasarkan bahwa pertumbuhan wajar
keindonesiaan itu tidak akan terkena oleh usaha interupsi yang penuh
kesengajaan misalnya, oleh bahaya laten komunisme yang sampai sekarang menjadi
doktrin hankam kita. Karena itu, pertumbuhan keindonesiaan itu lebih baik
ditangani secara aktif dan tidak diserahkan hanya semata – mata kepada
perkembangan alaminya yang serba aksidental.
Hal tersebut dalam praktik
akan memeerlukan dorongan ke arah terjadinya proses pendewasaan diri setiap
anggota bangsa, baik perseorangan maupun kelompok yang kedewasaan itu
menyatakan diri dalam kemampuan yang senantiasa meningkat untuk mengenali nilai
– nilai universal diri dan kelompoknya guna dikomunikasikan dengan orang dan
kelompok lain. Jika suatu “kebenaran” yang diklaim oleh pribadi atau kelompok
itu memang benar dan tidak semata – mata hasil ilusi psikologis/sosial yang
kaitannya dengan manfaat umum hanya semu atau palsu bagaikan buih dan jika
kemanfaatan “kebenaran” itu untuk sesama manusia memang beralasan dan terbukti
setidaknya secara logis “kebenaran” itu pada peringkat nasional, harus bisa
dinyatakan dalam bahasa – bahasa inklusivitis yang memungkinkan partisipasi dan
sharing oleh orang atau kelompok lain.
Legitimasi kekuasaan dapat
dapat diperoleh dari berbagai sumber, sejak dari keberhasilan mewujudkan
stabilitas dalam suatu masyarakat yang baru mengalami situasi kacau sampai
kepada kemampuan mengejawantahkan nilai – nilai luhur yang menjadi tujuan
bersama bangsa. Nilai – nilai luhur bangsa kita dirumuskan dalam konstitusi
yakni Pancasila. Dan sumber legitimasi inilah kriteria terakhir keabsahan suatu
kekuasaan di negeri kita.
Legitimasi itu semakin
diperlukan sebagai sumber daya dorong bangsa kita yang sering dilukiskan sebagai hendak “tinggal landas”,
tenaga dorong yang diperlukan untuk tinggal landas adalah jauh lebih besar
belipat ganda daripada yang diperlukan ketika melakukan taxiing menuju runaway dan
masih lebih besar berlipat ganda dari tenaga dorong yang diperlukan untuk cruising kelak di angkasa. Maka jika
untuk tinggal landas itu tidak tersedia cukup sumber tenaga, pesawat mungkin
akan menukik dan jatuh berantakan. Hal yang paling tepat untuk dikiaskan dengan
daya dorong guna take off itu ialah legitimasi politik. Semakin meyakinkan
legitimasi itu, semakin besar daya dorong yang dihasilkannya, yaitu dalam wujud
kesediaan setiap anggota bangsa, perseorangan maupun kelompok untuk berkorban.
Lebih lanjut, saat take off
sebagaimana saat landing adalah saat – saat paling kritis dalam
penerbangan saat seluruh penumpang termasuk awak pesawat dituntut untuk menahan
diri dan prihatin. Para awak pesawat, disebabkan oleh tanggung jawab mereka
harus memberi contoh. Jika tidak, kelalaian mereka akan menjadi alasan untuk
para penumpang meniru – niru dan ini akan bisa mengancam keselamatan seluruh
isi pesawat.
Untuk mempertinggi
kemampuan kita memikul tanggung jawab itu, kita harus secara kreatif
menumbuhkan sikap mantap kepada diri sendiri sebagai bangsa. Pertumbuhan
kemantapan itu berjalan sejajar dengan pertumbuhan keindonesiaan itu sendiri.
Tetapi kemantapan itu juga bisa ditumbuhkan secara deliberate, antara lain dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa kelima terbesar di dunia. Kemantapan itu tidak saja
berimplikasi kebebasan dari rasa cemas yang tidak pada tempatnya, baik cemas
yang berlebihan terhadap pluralitas dalam negeri maupun cemas dalam bentuk xenophobia, suatu perasaan takut kepada
yang asing pengaruh asing.
Kembali kepada kemampuan
mewujudkan nilai – nilai luhur atau keberhasilan menunjuk komitmen kepadanya
sebagai sumber legitimasi politik tersebut, kemantapan dan keterbukaan itu
menghendaki adanya persepsi kepada Pancasila sebagai ideologi terbuka. Ideologi
negara Pancasila, sebagai bentuk konvergensi nasional dalam peringkat formal
konstitusional, telah menunjuk keefektifannya sebagai penopang Republik. Tapi
keefektifannya itu agaknya terbatas kepada kemampuannya untuk menjadi sumber
legitimasi bagi usaha – usaha mempertahankan status quo.
Sebagai objek manipulasi,
Pancasila bisa berfungsi tidak lebih daripada suatu alat politik, suatu ideological weapon untuk kepentingan
sesaat. Sedangkan amat kita perlukan sekarang ialah Pancasila yang berfungsi
penuh sebagai sumber untuk memacu masa depan. Karena acap kali kita beringsut
ke belakang dengan segala sikap apologetisnya, saat kita hendak membicarakan
perwujudan nyata dalam masyarakat untuk sila – sila Perikemanusiaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial. Tentu saja kita tidak bisa membiarkan diri terus menerus
bersikap “tiba di mata dipejamkan, tiba di perut dikempiskan” terhadap nilai –
nilai Pancasila itu.
Kemudian dalam buku “Atas Nama
Pengalaman” saya mengutip di salah satu judulnya ‘Dua Pengalaman Berharga :
Orde Lama dan Orde Baru’. Dalam buku ini belia menceritakan mengapa Indonesia
tetap menemui kegagalan setelah runtuhnya Orde Baru dan berubah ke Orde
Reformasi, beliau memiliki visi, gagasan dan pemikiran bagaimana sebenarnya yang kita butuhkan untuk mengisi
suasana reformasi, supaya kita tidak gagal.
Ketika Orde Baru lahir, pikiran –
pikiran yang kira – kira sejalan dengan aspirasi reformasi sekarang ini
sebetulnya sudah ada. Pikiran – pikiran yang tertuang dalam Seminar Angkatan
Darat II tahun 66 yang dipelopori oleh para intelektual di Seskoad, ketika itu
memang merupakan semacam “think-tank”
yang sangat produktif dan banyak sekali merekrut tenaga – tenaga yang sangat
berkualitas. Sayangnya konsep yang dimaksudkan sebagai semacam reformasi
terhadap sistemnya Bung Karno yang tidak adil waktu itu berhadapan dengan partai
– partai. Banyak sekali partai – partai waktu itu. Dan tidak jelas pula siapa
lawan siapa kawan.
Pak Harto misalnya waktu itu beliau
hanya bisa mengandalkan Resimen Para Komando Angkatan Darat dalam Kostrad,
kemudian dieksistensi ke Siliwangi dan Yogya. Tetapi semua Kodam waktu itu
mencurigakan; semua angkatan dan semua partai politik mencurigakan. Sehingga
pada saat itu terindikasi bahwa Pak Harto ingin mendapat dukungan dari Masyumi
karena Masyumi pada saat itu adalah pratai politik yang dijamain anti PKI
tetapi beliau menemui kegagalan karena beliau kurang produktif dalam pendekatan
– pendekatan kepribadian. Sehingga beliau
mengambil konsep yang di godok oleh Ali Murtopo cs, itulah yang
menghasilkan suatu sistem yang berjalan sepanjang Orde Baru yang kemudian kita
rasakan selama lebih dari 30 tahun.
Sistem yang berjalan selama lebih dari
30 tahun di masa Orde Baru dengan tokohnya Pak Harto sangat mengesankan dan
impresif. Bandingkan dengan zaman Bung Karno yang 20 tahun tetapi penuh dengan
gejolak. Kemudian dalam perkembangan berikutnaya, Pak Harto kurang melihat
kemana sistemnya itu berjalan. Sistem yang tercipta dan menggelinding bersama
Orde Baru itu menjadi permanen seolah – olah merupakan situasi final dari keadaan Indonesia. Dan akibatnya,
ketika zaman bergulir dan situasi berubah, sistem tersebut tidak mampu
mengakomodasi perkembangan dan tuntutan – tuntutan aktual, sehingga dia menjadi
out of date dan mengalami krisis yang
cukup gawat.
Dulu Bung Karno berhadapan dengan
persoalan kultural. Indonesia waktu itu adalah suatu proyek yang belum ada
presidennya. Sebelum tahun 1945, belum ada Indonesia yang ada ialah Hindia
Belanda dan struktur kolonial. Memang secara geografis struktural Indonesia ini
kita warisi dari Hindia Belanda tetapi sistemnya lain sama sekali. Karena itu
dulu, sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno bisa polemik dengan bebas sekali,
dia bisa menulis dan bertukar pikiran dengans siapa saja secara bebas dan
sangat aktif. Tetapi itu semau hanya masih sebatas membaca teks buku, dengan
kata lain semua itu merupakan “adu kutipan buku” sehingga begituu diahadapkan
dengan kenyataan kultural yang luar biasa sulitnya membuat beliau gagal.
Kegagalan Bung Karno itu lebih
disebabkan karena kebingungannya karena dari Surabaya dengan budaya pantai yang
egaliter, terbuka, kosmopolit dan mobile
karena dasar ekonominya adalah dagang, Bung Karno kemudian menyerap keislaman
dari Tjokroaminoto, setelah itu dia juga menyerap budaya – budaya Barat melalui
sekolah Eropa. Maka kepribadian Bung Karno itu tumbuh dari pengalaman yang
sangat kompleks. Dalam beberapa hal dia sangat Barat misalnya dalam soal
pakaian atau cita rasa seninya. Kalau kita lihat koleksi lukisan dan patung di
istana itu semuanya Barat.
Setelah itu Bung Karno pindah ke THS di
Bandung, mulailah beliau terlibat dalam proses – proses perjuangan kemerdekaan.
Disitulah dia mulai berpolemik. Sesuai dengan zaman dan modenya waktu itu maka
dalam berpolemik dia banyak menggunakan literatur Marxisme. Inilah klimaks
periode Bung Karno, sehingga ketika beliau tampil sebagai presiden, beliau
tidak tahu bagaimana menampilkan dirinya. Kadang beliau tampil sebagai orang
Jawa pedalaman, kadang beliau tampil sebagai muslim, tapi kadang – kadang
beliau juga tampil sebagai orang Barat dan tentu saja dia banyak tampil sebagai
seorang revolusioner. Bagi Bung Karno
yang penting merdeka dulu, urusan lain diatur belakangan.
Dengan modal kenekadan itulah Bung Karno
memimpin Indonesia merdeka. Beliau mencanangkan revolusi belum selesai.
Menjebol dan membangun, sayangnya waktu itu baru bisa menjebol belum sempat
membangun. Bung Karno waktu itu tidak tahu bagaimana menghandle Indonesia. Beliau mencoba menyatukan berbagai unsur yang
beliau dapat dari ide – ide nasionalisme, agama, dan marxisme kemudian
diringkasnya menjadi Nasakom. Tetapi eksperimennya itu hanya bertahan selama 20
tahun. Kemudian datang Pak Harto sebagai sutradara baru.
Pak Harto adalah orang yang tidak pernah
sekolah, hal itu bisa dilihat dari bahasnaya yang uneducated language. Tetapi Iqnya tinggi sekali. Beliau sangat
mudah untuk mengerti. Karena beliau tidak sekolah, maka beliau tidak punya
wawasan tentang apa modern nation-state.
Wawasannya adalah feodal state. Dari
situlah mulai muncul problem. Dia seolah – olah
tidak mau mengulangi Bung Karno yang memiliki pendidikan tinggi tapi
kemudian meleset menilai keadaan. Pak Harto dengan kecerdasannya mencoba
memetakan masalah. Tetapi tanpa pendidikan yang memadai dan hanya bermodalkan
kecerdasan, beliau seperti laser yang tidak bisa menerangi kanan – kirinya.
Tetapi karena diarahkan dengan penuh energi semuanya jadi jebol.
Kemudian beliau mengunakan satu
alternatif kebudayaan Indonesia yaitu Jawa yang digabung dengan militer. Ini
kita saksikan 30 tahun efektif. Kemiliterannya dan Kejawaannya juga selektif
sehingga beliau mendapat pertentangan. Jadi untuk diketahui bahwa budaya Jawa yang diterapkan Pak Harto itu atas dasar
pilihan beliau sendiri. Singkatnya selama Orde Baru itu kita diperintahkan oleh
suatu sistem yang sangat bertumpu kepada salah satu saja dari sistem budaya
Indonesia, dan kemudian efektif hanya 30 tahun. Oleh karena itu tidak bisa disebut permanen. Dua pengalaman
berharga itu yakni masa Bung Karno dan Pak Harto, harus kita renungkan betul
untuk meenjadi bahan pemikiran ke depan agar kita tidak terjatuh lagi.